Melalui surat pengaduan resmi Nomor: 003.AH.09/09/2025, masyarakat Desa Asemraja melaporkan dugaan pelanggaran tersebut kepada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM). Salinan laporan juga telah ditembuskan kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Negeri Sampang, Dinas Koperasi (Diskopindag) Kabupaten Sampang, serta Camat Jrengik.
Dalam laporan tersebut, warga menilai Diskopindag Sampang memiliki tanggung jawab besar terhadap arah kebijakan pembentukan koperasi, termasuk pendampingan, sosialisasi, hingga pengawasan. Namun, verifikasi administrasi pasca pembentukan diduga tidak dilakukan secara benar.
Akibatnya, muncul pengurus yang merangkap jabatan sebagai perangkat desa dan ASN, hal yang jelas bertentangan dengan aturan.
“Perangkapan jabatan dalam struktur koperasi merupakan masalah serius. Pengurus koperasi seharusnya berasal dari unsur masyarakat yang amanah, berkompeten, dan tidak memiliki konflik kepentingan,” ujar Sahid, salah satu kuasa hukum pelapor.
Warga juga menyoroti tidak adanya tindak lanjut dari instansi terkait atas laporan yang telah mereka sampaikan. Padahal, menurut mereka, persoalan ini menyangkut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa.
Salah satu warga, M.H, menegaskan bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang dan praktik nepotisme dalam koperasi desa.
“Anak muda Indonesia tidak akan berkompromi dengan penyalahgunaan jabatan. Bersih boleh, tapi kalau tanpa tindakan nyata, percuma. Jangan nakal dengan uang publik,” ujarnya tegas.
Lebih lanjut, M.H menyampaikan bahwa pihaknya bersama masyarakat akan menagih komitmen Kejaksaan Negeri Sampang dalam mengawal tiga program prioritas pemerintah pusat di desa, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan Dana Desa.
“Kami berharap Kejari Sampang benar-benar mengawasi transparansi dan mencegah potensi korupsi di tingkat desa,” tambahnya.
Sementara itu, sumber warga lainnya mengungkapkan bahwa sejak awal, koperasi ini sempat diajukan untuk memperoleh pinjaman hingga Rp3 miliar dari bank. Namun, karena keberatan dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mekanisme pinjaman diubah menjadi sistem plafon kredit.
Menurutnya, sebagian dana desa sebesar Rp1 miliar digunakan sebagai modal awal dan jaminan untuk pinjaman koperasi. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran besar di masyarakat.
“Kalau koperasi gagal bayar, siapa yang menanggung? Dana desa bisa dipotong untuk menutupi tunggakan. Itu jelas berisiko,” ungkapnya.
Ia menambahkan, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2025, dana desa memang dapat menjadi bantalan jaminan maksimal 30% per tahun. Namun, keputusan tersebut harus melalui musyawarah desa yang transparan.
“Jangan hanya rapat formalitas. Musyawarah desa adalah pertaruhan masa depan keuangan desa,” katanya.
Dalam konteks ini, warga juga menilai pentingnya peran pengawasan berjenjang dari kabupaten hingga desa agar tidak terjadi penyimpangan.
“Pengawas bukan sekadar simbol jabatan, tapi harus jadi alarm dini ketika koperasi mulai menyimpang,” tegasnya.
Masyarakat berharap pemerintah daerah, khususnya Diskopindag Sampang dan Camat Jrengik, segera menindaklanjuti pengaduan tersebut dan memastikan Kopdes Merah Putih berjalan sesuai prinsip koperasi: transparansi, profesionalitas, dan keberpihakan pada masyarakat desa.(Hsn)