DerapHukumPos.com -- Malang. Proses pembebasan tanah dan bangunan untuk proyek pelebaran Jalan Lintas Selatan (JLS) dari Gondanglegi hingga Balaikambang, Malang Selatan, kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah warga menuding adanya praktik tidak wajar dalam penetapan harga ganti rugi yang justru merugikan masyarakat kecil.
Dari keterangan yang dihimpun Deraphukumpos, kasus ini dialami langsung oleh Wiwik Widayanti dan Rusdi, warga Desa Bantur Krajan, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Mereka mengaku nilai ganti rugi yang ditawarkan pemerintah jauh dari kondisi riil, bahkan terdapat indikasi manipulasi penghitungan harga per meter persegi.
Satu Bangunan, Tiga Harga.?
Rusdi mencontohkan, rumah dua lantai miliknya yang dilengkapi kolam ikan dan halaman depan justru dihitung dengan tiga kategori harga berbeda.
Rinciannya:
![]() |
Satu rumah 1 surat dipetak dan dihargai dengan nilai berbeda |
62 m² dihargai Rp1.151.129/m² = Rp71.370.000
20,70 m² dihargai Rp2.294.685/m² = Rp47.580.000
29,60 m² dihargai Rp5.358.108/m² = Rp158.600.000
“Bagaimana mungkin satu bangunan dihitung dengan tiga macam harga? Logika apa yang dipakai? Kalau ini bukan permainan, lalu apa?” keluh Rusdi, Sabtu (20/09).
Ia menegaskan bahwa rumah dua lantai beserta kolam ikan sudah menghabiskan biaya pembangunan lebih dari Rp400 jutaan, belum termasuk harga tanah. Namun pemerintah hanya memberi ganti rugi sekitar Rp300 jutaan.
“Kalau pemerintah yakin dengan uang segitu bisa membeli rumah setara dengan bangunan kami, silakan buktikan. Kalau tidak, mestinya diganti dengan harga wajar atau rumah pengganti yang layak, sama persis apa yang kami miliki” tambahnya.
Lebih lanjut " heran dan tragis sekali peran penting DPRD kabupaten Malang, yang seakan tidak ada fungsinya, peran wakil rakyat itu kemana kok gak nungul disaat masyarakat dibenturkan dengan kebijakan yang tidak berpihak terhadap masyarakat kecil dibawah, seharusnya hadir ditengah tengah masyarakat,serap aspirasi dan cari solusinya, jangan cuma nungguin rises dn gaji aja serta tunjangan" ucap rusdi,
Rasa Keadilan yang Terabaikan
Hal senada disampaikan Wiwik Widayanti. Menurutnya, tanah yang seharusnya dihitung sebagai satu bidang, justru dipisahkan menjadi beberapa kategori harga. Pola ini membuat nilai kompensasi semakin kecil dibanding kondisi sebenarnya.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan main potong seenaknya. Kami yang kehilangan rumah, bukan mereka yang duduk di kursi empuk,” ujarnya dengan nada kecewa.
Menambahkan " pemerintah dan DPRD/DPR kalau pas mencalonkan ngemis suara, dan segunung janji, seluas samudera, tapi setelah diberikan amanah diem tidak membela rakyat kecil, yang penting bapak terhormat duduk manis dibawah atap dingin penuh ac dan makanan bergizi, urusan masyarakat bodoh amat". Komentar Dengan penuh nada geram
Transparansi Dipertanyakan
Pembebasan lahan seharusnya dilakukan dengan prinsip transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat, apalagi proyek ini menggunakan dana negara. Namun fakta di lapangan justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada pihak-pihak yang diuntungkan melalui rekayasa harga?
Hingga berita ini diturunkan, pihak pemerintah desa, Pemerintah kabupaten,ATR/BNP maupun instansi terkait belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan tersebut.
Masyarakat berharap pemerintah segera turun tangan menindaklanjuti persoalan ini, agar pembangunan infrastruktur tidak menjadi alasan untuk menindas rakyat kecil yang haknya terabaikan.
(Tim Investigasi Deraphukumpos)
#KeadilanUntukRakyat #Bantur #Deraphukumpos