![]() |
Ilustrasi Deraphukumpos.com |
Langkah ini disebut bertujuan memperkuat perlindungan terhadap pekerja migran, namun di sisi lain dinilai membebani perusahaan penyalur berskala kecil dan menengah.
“Tidak semua perusahaan memiliki kemampuan modal besar. Aturan ini justru mengancam keberlangsungan perusahaan kecil yang selama ini terbukti berperan dalam penempatan PMI secara resmi,” kata salah satu pengurus asosiasi perusahaan penyalur, Selasa (2/9/2025).
Dalam aturan terbaru, pemerintah membagi wilayah penempatan PMI ke dalam tiga zona utama: Asia Timur, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Setiap zona memiliki ketentuan yang menuntut kesiapan finansial berbeda, mulai dari biaya dokumen, kontrak kerja, hingga perlindungan hukum.
Asia Timur: regulasi ketat di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China menuntut jaminan finansial tinggi. Asia Tengah: negara seperti Uzbekistan dan Kazakhstan membutuhkan biaya tambahan untuk dokumen dan visa. Asia Tenggara: meski dekat, Malaysia, Singapura, dan Thailand tetap menuntut dukungan dana perlindungan hukum dan akomodasi.
Dengan pola deposito berdasarkan zona, perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu kawasan otomatis memikul beban lebih berat.
Kenaikan modal ini berpotensi mempersempit jumlah perusahaan aktif, karena tidak semua mampu memenuhi persyaratan baru. Bila banyak perusahaan kecil tutup, dikhawatirkan pekerja migran akan beralih ke jalur ilegal yang justru berisiko lebih besar.
“Yang kami butuhkan bukan sekadar pengetatan modal, tetapi regulasi yang proporsional agar perlindungan PMI bisa berjalan tanpa mematikan perusahaan penyalur,” lanjut pengurus asosiasi tersebut.
Pelaku usaha berharap ada masa transisi yang cukup panjang serta ruang dialog dengan pemerintah dan DPR. Revisi terhadap UU Nomor 18 Tahun 2017 yang kini sedang dibahas di parlemen dinilai sebagai momentum tepat untuk melahirkan regulasi lebih seimbang.
“Kalau tujuannya melindungi PMI, harus ada titik temu antara kepentingan negara, perusahaan, dan para pekerja. Tanpa itu, kebijakan bisa kontraproduktif,” imbuhnya.
Hingga kini, pemerintah belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait gelombang penolakan ini. Para pelaku usaha menanti kebijakan lanjutan yang mampu menyeimbangkan aspek perlindungan dengan keberlangsungan industri.(Red)