Di titik koordinat 8°0’24,264”S 112°32’37,38”E dan 8°0’24,384”S 112°32’33,288”E, ekskavator terus mengikis tebing, mengisi bak truk yang langsung berangkat usai terisi penuh. Tidak ditemukan papan proyek, tanda peringatan, atau petugas pengatur lalu lintas resmi di sekitar lokasi. Sejumlah truk bahkan berhenti di badan jalan saat menunggu giliran muat, mengganggu arus kendaraan.
Menurut warga sekitar, kegiatan serupa sudah berlangsung beberapa minggu terakhir. “Kami menduga tanah ini dijual ke proyek di luar daerah. Kalau resmi, pasti ada izinnya dan ada petugas di sini. Ini enggak ada,” kata seorang warga yang enggan disebut namanya.
Jika aktivitas ini terbukti tanpa izin, pelaku dapat dijerat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 158 yang mengancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar bagi penambang tanpa izin. Selain itu, kegiatan ini berpotensi melanggar Pasal 69 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait perusakan lingkungan.
Pengikisan tebing di jalur nasional tanpa penguatan struktur memperbesar risiko longsor, terutama saat musim hujan. Jalur Petungsewu–Sumbersuko merupakan salah satu akses vital penghubung Malang dengan wilayah barat. Kerusakan jalur akibat longsor akan memutus arus logistik dan membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Meski aktivitas ini berlangsung di siang bolong dan dekat permukiman, aparat penegak hukum (APH) tak terlihat melakukan penindakan. Publik menilai pembiaran ini memberi ruang bagi pelaku untuk terus mengeruk keuntungan tanpa memikirkan dampak lingkungan dan keselamatan umum.
“Kalau ini dibiarkan, artinya hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil. Padahal kerusakan alam dampaknya ke semua orang,” tegas salah satu aktivis lingkungan di Malang.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian maupun pemerintah daerah terkait status perizinan dan penindakan terhadap aktivitas tersebut.(*)