![]() |
Moch. Wahyu Nur Agung Satriyo, S.H., (Kuasa Hukum S.O) |
Keresahan itu muncul karena S.O telah menandatangani dua surat pernyataan yang berisi pengakuan dan kesediaan untuk mengganti kerugian kepada pihak korban. Surat pertama dibuat pada 1 Juni 2025, dengan ganti rugi sebesar Rp1.000.000. Kemudian disusul surat kedua tertanggal 12 Juni 2025, dengan tambahan nominal Rp5.000.000.
Kedua surat tersebut disepakati secara kekeluargaan dan disaksikan oleh Ketua RT, RW, Bhabinkamtibmas, dan Babinsa. Namun, meskipun ada kesepakatan tertulis untuk menyelesaikan perkara secara damai, pihak korban tetap melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.
"Apa fungsi RT, RW, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas jika kesepakatan yang disaksikan mereka tidak dihargai? Lebih baik dibubarkan saja," ujar Moch. Wahyu Nur Agung Satriyo, S.H., yang akrab disapa Agung, selaku kuasa hukum S.O., dengan nada geram.
Agung menegaskan, dalam surat pernyataan tersebut, pihak korban telah menyatakan tidak akan membawa perkara ini ke ranah hukum dan menyepakati penyelesaian secara kekeluargaan. Namun, faktanya, laporan tetap diajukan ke Polres Kota Batu, dan kliennya kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu dibuktikan dengan Surat Perintah Penahanan tertanggal 19 Juli 2025, dengan nomor SP.Han/65/VII/RES.1.24/2025/Satreskrim.
“Jelas kami merasa dikhianati. Kesepakatan sudah dibuat secara tertulis dan disaksikan oleh pejabat lingkungan. Tapi kenapa klien kami tetap ditangkap?" kata Agung.
Ia juga menyoroti dugaan adanya kejanggalan dalam proses hukum yang berjalan. Menurutnya, kliennya sudah menunjukkan itikad baik dengan memenuhi permintaan korban, termasuk membayar ganti rugi sebagaimana disepakati.
"Proses ini patut dipertanyakan. Ada indikasi pelanggaran atas kesepakatan bersama, bahkan patut dicurigai ada dugaan potensi pemerasan secara terstruktur. Klien kami sudah tunduk dan patuh, tapi justru dilaporkan dan diproses secara hukum," lanjutnya.
Sementara itu, di media sosial, kasus ini menjadi viral dengan narasi yang simpang siur dan dinilai melebar dari fakta sebenarnya.
Tudingan terhadap S.O mencuat sejak tahun 2022, 2023, dan 2025, dengan dugaan perbuatan asusila berupa ciuman di pipi serta sentuhan tidak pantas pada bagian tubuh korban, sebagaimana terlihat dalam video pendek yang direkam sendiri oleh korban dan disampaikan kepada keluarganya sebagai bukti.
Fakta lain yang mengemuka adalah bahwa antara terduga pelaku dan korban masih memiliki hubungan keluarga dari almarhumah istri S.O. Hubungan kekeluargaan inilah yang menjadi dasar awal penyelesaian secara damai.
Namun, belakangan, salah satu pihak keluarga korban menolak besaran ganti rugi awal dan meminta tambahan, yang akhirnya melahirkan surat pernyataan kedua.
Kini, proses hukum terus bergulir di Polres Kota Batu. Di sisi lain, keluarga S.O berharap agar penegakan hukum dilakukan secara objektif, berdasarkan fakta, bukan tekanan publik atau penggiringan opini.
"Ini bukan hanya soal dugaan perbuatan, tapi soal bagaimana kesepakatan bisa diingkari dan malah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kami akan menempuh jalur hukum untuk membuktikan adanya pelanggaran hak atas klien kami," tegas Agung.
Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat. Berbagai pihak mendesak agar proses hukum berjalan secara adil dan tidak tebang pilih.
"Pesan moral yang perlu dikedepankan adalah asas praduga tak bersalah. Jika belum ada putusan hukum yang berkekuatan tetap, maka tidak sepatutnya publik menghakimi secara sepihak," ujar Much. Ainur Rofiq, S.H., C.Me., kuasa hukum senior yang turut mendampingi kasus ini.
Ia juga mengecam sejumlah media yang memberitakan kasus ini secara tidak berimbang, menyebut nama lengkap terduga pelaku, bahkan mempublikasikan foto tanpa sensor.
"Bukankah itu juga bentuk pembunuhan karakter terhadap seseorang yang belum tentu bersalah? Dampaknya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada kondisi psikologis keluarganya. Sangat disayangkan," tandas Rofiq.
Redaksi: DerapHukumPos
Laporan: Tim Investigasi
Editor: Admin