![]() |
Oleh: Busamat Wakil Pimpinan Redaksi Deraphukumpos |
DerapHukumPos.com -- Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025, bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah ruang kontemplasi untuk menimbang ulang arah pendidikan kita: apakah masih setia pada cita-cita kemerdekaan, atau justru menyimpang dari akar nilai yang diperjuangkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.
Sebagaimana kita tahu, Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan sejati harus mampu "memerdekakan" manusia, bukan sekadar mencerdaskan otak, melainkan membangun karakter dan membentuk jiwa. Dalam semboyannya yang legendaris "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" terkandung filosofi mendalam bahwa seorang pendidik adalah teladan, penggerak, sekaligus pendorong.
Namun dalam kenyataan hari ini, nilai-nilai luhur itu kian sulit ditemui. Saya menyaksikan melalui berbagi laporan media dan suara dari lapangan , bagaimana guru yang seharusnya dihormati, justru sering diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Ada guru yang dilaporkan karena dianggap melakukan kekerasan saat mendisiplinkan siswa. Ada murid yang tak segan memukul guru di depan kelas. Apa yang salah dari sistem kita?
Kurikulum Merdeka hadir dengan niat baik: membebaskan cara belajar, memberi ruang kreativitas, dan menghindari pola pikir seragam. Tapi dalam implementasinya, kebebasan ini justru kerap membingungkan, baik bagi guru maupun siswa. Ketika peran pendidik dilemahkan, ketika disiplin dianggap usang, dan ketika nilai karakter hanya jadi pelengkap kurikulum, maka yang lahir bukanlah kemerdekaan belajar, melainkan kekacauan dalam pembelajaran.
Sebagai Wakil Pimpinan Redaksi Deraphukumpos, saya ingin mengingatkan bahwa pendidikan tidak bisa hanya diserahkan pada sistem. Ia membutuhkan keberpihakan: kepada guru, kepada nilai-nilai, dan kepada watak bangsa. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa pendidikan yang disiplin dan berkarakter melahirkan generasi tangguh. Maka, mengapa kita justru mengendurkan ketegasan dan melemahkan otoritas pendidik?
Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu." Tapi bagaimana mungkin pendidik menuntun, bila tongkat tuntunan itu dilucuti?
Di Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 ini, mari kita kembalikan marwah pendidikan sebagai jalan pembebasan, bukan pembiaran. Kembalikan guru sebagai pilar utama pendidikan, dan jadikan sekolah sebagai ruang pembentukan watak, bukan hanya ruang transfer pengetahuan. Merdeka belajar haruslah berpijak pada etika, disiplin, dan rasa hormat. Tanpa itu, pendidikan kita hanya akan kehilangan arah di tengah euforia perubahan.