Kasus ini kini resmi tercatat di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Malang dengan nomor perkara 224/Pdt.G/2025/PN Malang, yang didaftarkan melalui kuasa hukum Eka dari Law Firm Yayan Riyanto pada 18 Juli 2025.
Menurut Yayan, kliennya telah menyerahkan 12 Sertifikat Hak Milik (SHM) sebagai agunan untuk pembiayaan sebesar Rp 25 miliar pada 2015. Dari jumlah tersebut, Eka sudah membayar nisbah atau bagi hasil senilai Rp 5,5 miliar, sehingga sisa kewajiban sekitar Rp 19,5 miliar.
Namun, pada 2018 Eka mengalami kesulitan keuangan. Ia mengusulkan agar penyelesaian dilakukan dengan menjual aset bersama sesuai harga pasar. Sayangnya, pihak bank justru menempuh jalur eksekusi melalui Pengadilan Agama Kota Malang yang kemudian menerbitkan surat relaas lelang.
“Yang mengejutkan, dari sembilan sertifikat yang tersisa, semuanya dilelang melalui KPKNL dengan nilai Rp 20,5 miliar. Padahal, nilai appraisal aset itu pernah mencapai lebih dari Rp 40 miliar. Ironisnya, pembeli lelang justru pihak bank itu sendiri,” ungkap Yayan, Selasa (22/07/2025).
Kuasa hukum Eka menilai langkah bank melanggar klausul perjanjian. Dalam kontrak disebutkan, jika terjadi sengketa, maka penyelesaian dilakukan lewat musyawarah atau PN Malang. Namun, kenyataannya eksekusi justru digulirkan melalui Pengadilan Agama.
Gugatan yang dilayangkan Eka tidak hanya menyasar pihak bank, tetapi juga KPKNL Malang, BPN Kota Malang, serta notaris Diah Aju Wisnuwardhani.
“Kami berharap majelis hakim bisa memberikan keadilan. Jangan sampai nasabah yang sudah beritikad baik justru semakin terpuruk karena asetnya dilelang murah. Gugatan ini untuk membatalkan lelang sekaligus mencegah balik nama,” tegas Yayan.
Kasus ini menjadi sorotan publik, lantaran menyangkut praktik transparansi lembaga perbankan dan perlindungan hukum bagi nasabah yang lemah secara ekonomi.(Gatot)