![]() |
Oleh: Busamat | Opini | Wakil Pimpinan Redaksi Deraphukumpos |
DerapHukumPos.com--Jika dahulu kita mengenal “kecanduan” sebagai istilah yang erat dengan narkoba dan zat adiktif yang menghancurkan tubuh serta mental, maka hari ini, di tengah kemajuan teknologi dan kemudahan digital, definisi kecanduan itu mulai bergeser ke bentuk-bentuk yang lebih halus namun tak kalah berbahaya. Salah satunya: kecanduan belanja online, terutama via layanan Cash On Delivery (COD).
Fenomena ini menjadi ironi yang menampar kesadaran sosial. Ketika dunia memperingati Hari Anti Narkoba Internasional pada 26 Juni 2025, seharusnya momen ini juga dijadikan refleksi untuk mengenali bentuk-bentuk kecanduan baru yang tumbuh dalam senyap. Jika narkoba merusak tubuh secara biologis, maka candu digital merusak nilai, waktu, dan stabilitas sosial dari dalam—perlahan namun pasti.
Gadget dalam Genggaman, Jiwa Tak Lagi Tenang
Perangkat digital kini seolah telah menjadi perpanjangan tangan manusia. Dalam satu genggaman, semua kebutuhan terpenuhi—belanja, hiburan, komunikasi, bahkan pelarian dari stres. Marketplace pun menjelma menjadi ‘pasar berjalan’ yang setiap detiknya menjerat perhatian dan memancing impuls belanja.
Layanan COD, yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada pembeli, kini menjelma menjadi jebakan psikologis. Rasa puas menerima paket di depan pintu menumbuhkan candu tersendiri. Bukan kebutuhan yang dipenuhi, melainkan keinginan yang terus dituruti.
COD: Candu Baru yang Menggerus Kesadaran
Laporan tim Deraphukumpos menemukan bahwa tidak sedikit masyarakat, mulai dari remaja, pekerja kantoran, hingga ibu rumah tangga, mulai memperlihatkan gejala impulsif dalam pola konsumsi. Ada yang setiap harinya menerima paket tanpa lagi ingat kapan dan untuk apa ia memesan barang tersebut. Lebih menyedihkan, banyak dari mereka yang tidak sanggup membayar dan akhirnya terlibat utang demi “kepuasan sesaat”.
Gejala ini kian nyata di lapangan: rumah tangga menjadi retak akibat pengeluaran tak terkendali, komunikasi antaranggota keluarga terganggu, dan waktu berkualitas bersama anak digantikan oleh layar yang terus menampilkan promo-promo menggoda.
COD vs Narkoba: Sama-Sama Menyandera Jiwa
Tentu, belanja online bukan tindak kriminal seperti narkoba. Namun dampak jangka panjangnya terhadap mental dan stabilitas sosial bisa menyerupai. Ia menumbuhkan gaya hidup konsumtif, mengikis rasa syukur, dan melemahkan daya tahan terhadap godaan.
Seperti narkoba, candu COD juga menjadikan seseorang ketagihan. Dan seperti narkoba pula, mereka yang terjebak dalam lingkaran ini kerap tak menyadari bahwa mereka sedang sakit.
Menanam Kesadaran, Membangun Ketahanan
Hari Anti Narkoba harus menjadi momentum tidak hanya untuk menolak zat adiktif konvensional, tapi juga untuk mengkampanyekan kesadaran digital. Di tengah laju teknologi yang tak bisa dibendung, ketahanan diri dan keluarga harus diperkuat.
Masyarakat harus mulai mengenal istilah baru: digital self-control — kemampuan menahan diri dari dorongan impulsif akibat paparan media digital. Edukasi literasi finansial, pembiasaan hidup sederhana, serta pembatasan penggunaan gawai harus menjadi bagian dari gerakan sosial.
Karena pada akhirnya, tidak semua yang bisa dibeli harus dimiliki. Dan tidak semua notifikasi berarti kita harus segera meng-klik “beli sekarang”.
---
Refleksi: Hari ini kita perangi narkoba, besok mungkin kita harus melawan candu baru bernama COD. Dua-duanya membahayakan, dua-duanya merampas akal sehat. Mari bijak dalam melangkah di era digital ini.